KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD MATAHATI VERSI ANDROID
Isra Mi’raj Nabi MuhammadSAW – Seringkali di kalangan masyarakat kita, dalam mendefinisikan isra dan
mi’raj, mereka menggabungkan Isra Mi’raj menjadi satu peristiwa yang sama.
Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dan
untuk meluruskan hal tersebut, pada kesempatan ini saya bermaksud mengupas tuntas
pengertian isra dan mi’raj, sejarah isra mi’raj nabi muhammad SAW serta hikmah
dari perjalanan isra’ mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
Isra Mi’raj adalah dua
bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad dalam waktu satu malam
saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam,
karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat
perintah untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam.
Isra’ dan Mi’raj merupakan dua cerita perjalanan yang berbeda.
Isra’ merupakan kisah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekkah ke
Masjidil Aqsa di Yerussalem. Sedangkan Mi’raj merupakan kisah perjalanan Nabi
dari bumi naik ke langit ketujuh dan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha (akhir
penggapaian) untuk menerimah perintah di hadirat Allah SWT.
Namun karena dua peristiwa
ini terjadi pada waktu yang bersamaan maka disebutlah peristiwa Isra’ Mi’raj.
Selama perjalanan Nabi ditemani Malaikat Jibril dengan menunggangi Buraq.
Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi dalam waktu singkat, yaitu hanya dalam satu malam.
Isra Mi’raj terjadi pada
periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj
terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M.
Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab
tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.
Namun demikian, SyaikhShafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena
Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian,
yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima
waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra
Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui
secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.
Peristiwa Isra Mi’raj
terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga
Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai
ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat
perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa
tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima
waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke
Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan
memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Perjalanan dimulai
Rasulullah mengendarai buraq bersama Jibril. Jibril berkata, “turunlah dan
kerjakan shalat”.
Rasulullahpun turun. Jibril
berkata, “dimanakah engkau sekarang ?”
“tidak tahu”, kata
Rasululullah.
“Engkau berada di Madinah,
disanalah engkau akan berhijrah “, kata Jibril.
Perjalanan dilanjutkan ke
Syajar Musa (Masyan) tempat penghentian Nabi Musa ketika lari dari Mesir,
kemudian kembali ke Tunisia tempat Nabi Musa menerima wahyu, lalu ke
Baitullahmi (Betlehem) tempat kelahiran Nabi Isa AS. Kemudian terjadilah
peristiwapembelahan dada Nabi Muhammad untuk disucikan dengan air Zamzam oleh
Malaikat Jibril di samping Ka’bah sebelum berangkat ke Masjidil Aqsha di Yerussalem sebagai
kiblat nabi-nabi terdahulu.
Sesampainya di Yerussalem,
Jibril menurunkan Rasulullah dan menambatkan kendaraannya. Setelah Rasululullah
memasuki masjid ternyata telah menunggu Para nabi dan rasul. Rasulululah
bertanya : “Siapakah mereka ?”
“Saudaramu para Nabi dan
Rasul”.
Nabi Muhammad kemudian
menjadi imam bagi nabi-nabi terdahulu ketika melaksanakan salat sunnah dua
rakaat di Masjidl Aqsa. Jibril membawa dua gelas minumam berisi susu dan arak,
Nabi memilih susu sebagai isyarat bahwa umat Islam tidak akan tersesat.
Kemudian Jibril membimbing
Rasul kesebuah batu besar, tiba-tiba Rasululullah melihat tangga yang sangat
indah, pangkalnya di Maqdis dan ujungnya menyentuh langit. Kemudian Rasulullah
bersama Jibril naik tangga itu menuju kelangit tujuh dan ke Sidratul Muntaha.
“Dan sesungguhnya nabi
Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal,
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratull Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang dilihatnya itu
dan tidakpula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm : 13 – 18).
Di langit pertama Muhammad
bertemu dengan Nabi Adam A.S, di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Yahya
A.S, di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf A.S, di langit keempat bertemu dengan
Nabi Idris A.S, di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa A.S dan di langit
ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim A.S.
Dari Sa’id bin Al Musayyib,
dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«
حِينَ أُسْرِىَ بِى لَقِيتُ مُوسَى – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – ». فَنَعَتَهُ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا رَجُلٌ – حَسِبْتُهُ قَالَ –
مُضْطَرِبٌ رَجِلُ الرَّأْسِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ – قَالَ –
وَلَقِيتُ عِيسَى ». فَنَعَتَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا
رَبْعَةٌ أَحْمَرُ كَأَنَّمَا خَرَجَ مِنْ دِيمَاسٍ ».
-
يَعْنِى حَمَّامًا – قَالَ « وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ – صَلَوَاتُ اللَّهِ
عَلَيْهِ – وَأَنَا أَشْبَهُ وَلَدِهِ بِهِ – قَالَ – فَأُتِيتُ بِإِنَاءَيْنِ فِى
أَحَدِهِمَا لَبَنٌ وَفِى الآخَرِ خَمْرٌ فَقِيلَ لِى خُذْ أَيَّهُمَا شِئْتَ.
فَأَخَذْتُ اللَّبَنَ فَشَرِبْتُهُ . فَقَالَ هُدِيتَ الْفِطْرَةَ أَوْ أَصَبْتَ
الْفِطْرَةَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ ».
“Ketika aku diisra’kan (diperjalankan), aku bertemu Musa ‘alaihis salam.” Lalu Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam mensifatinya
dengan mengatakan bahwa ia adalah pria yang tidak gemuk yang berambut antara
lurus dan keriting serta terlihat begitu gagah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun bertemu ‘Isa.”
Lalu beliau mensifati ‘Isa bahwa ia adalah pria yang tidak terlalu tinggi,
tidak terlalu pendek dan kulitnya kemerahan seakan baru keluar dari kamar
mandi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun bertemu Ibrahim -shalawatullah
‘alaih- dan aku adalah keturunan Ibrahim yang paling mirip dengannya. Aku
pun datang dengan membawa dua wadah. Salah satunya berisi susu dan yang lainnya
khomr (arak). Lantas ada yang mengatakan padaku, “Ambillah mana yang engkau
suka.” Aku pun memilih susu, lalu aku meminumnya.” Ia pun berkata, “Engkau
benar-benar berada dalam fithrah. Seandainya yang kau ambil adalah khomr, tentu
umatmu pun akan ikut sesat.” (HR. Muslim no. 168).
"Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke
Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S Al Isra (17):1)
Selanjutnya Rasulullah
melanjutkan perjalanan menghadap Allah tanpa ditemani Jibril. Rasulullah
membaca yang artinya : “Segala penghormatan adalah milik Allah, segala Rahmat
dan kebaikan“.
Allah berfirman yang
artinya: “Keselamatan bagimu wahai seorang nabi, Rahmat dan berkahnya“.
Rasul membaca lagi yang
artinya: “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh.”
Berfirman Allah SWT : “Hai
Muhammad Aku mengambilmu sebagai kekasih sebagaimana Aku telah mengambil
Ibrahim sebagai kesayanagan dan Akupun memberi firman kepadamu seperti firman
kepada Musa Akupun menjadikan umatmu sebagai umat yang terbaik yang pernah
dikeluarkan pada manusia, dan Akupun menjadikan mereka sebagai umat wasath
(adil dan pilihan), Maka ambillah apa yang aku berikan kepadamu dan jadilah
engkau termasuk orang-orang yang bersyukur“.
“Kembalilah kepada umatmu
dan sampaikanlah kepada mereka dari Ku”. Nabi
kemudian menerima perintah untuk membawa amanah Allah berupa salat 50 waktu
dalam sehari semalam untuk Nabi Muhammad dan umatnya.
Kemudian Rasulullah turun
ke Sidratul Muntaha. Dalam
perjalanan pulang di langit keenam, beliau bertemu Musa A.S. Terjadilah
percakapan di antara keduanya, Musa menanyakan apa yang dibawa Muhammad setelah
menghadap Allah. Muhammad kemudian menjelaskan mengenai perintah untuk
melakukan salat 50 waktu dalam sehari semalam. Musa lantas menyuruh Muhammad
untuk kembali menghadap Allah dan meminta keringanan.
Muhammad lantas kembali
kehadirat Allah untuk meminta keringanan. Permintaan tersebut dikabulkan,
perintah salat diturunkan menjadi 45 kali. Setelah itu Muhammad kembali dan
bertemu lagi dengan Musa. Dikisahkan Nabi Muhammad SAW sempat beberapa kali
pulang pergi untuk meminta keringanan salat, hingga akhirnya turun menjadi lima
kali dalam waktu sehari semalam.
Setelah perintah salat
diturunkan menjadi lima waktu dalam sehari semalam, dikisahkan bahwa Nabi Musa
masih menyuruh Muhammad untuk meminta keringanan. Tapi Nabi Muhammad tidak
berani lagi melakukannya karena malu pada Allah, ia pun rela dan ikhlas dengan
ketentuan tersebut. Nabi akhirnya kembali dengan membawa perintah salat selama
lima waktu yang kita kenal sebagai salat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib dan Isya.
Kemudian Jibril berkata :
“Allah telah memberikan kehormatan kepadamu dengan penghormatan yang tidak
pernah diberikan kepada seorangpun dari makhluk Nya baik malaikat yang terdekat
maupun nabi yang diutus. Dan Dia telah membuatmu sampai suatu kedudukan yang
tak seorangpun dari penghuni langit maupun penghuni bumi dapat mencapainya.
Berbahagialah engkau dengan penghormatan yang diberikan Allah kepadamu berupa
kedudukan tinggi dan kemuliaan yang tiada bandingnya. Ambillah kedudukan
tersebut dengan bersyukur kepadanya karena Allah Tuhan pemberi nikmat yang
menyukai orang-orang yang bersyukur”.
Lalu Rasulullah memuji
Allah atas semua itu.
Kemudian Jibril berkata :
“Berangkatlah ke surga agar aku perlihatkan kepadamu apa yang menjadi milikmu
disana sehingga engkau lebih zuhud disamping zuhudmu yang telah ada, dan sampai
lah disurga dengan izin Allah SWT. Tidak ada sebuah tempat pun aku biarkan
terlewatkan”. Rasul melihat gedung-gedung dari intan mutiara dan sejenisnya,
Rasul juga melihat pohon-pohon dari emas. Rasul melihat disurga apa yang belum
pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan tidak terlintas dihati
manusia. Semua itu membuat Rasul kagum dan untuk mengejar surgalah mestinya
manusia beramal. Kemudian Rasululullah diperlihatkan neraka sehingga rasul
dapat melihat belenggu-belenggu dan rantai-rantainya selanjutnya Rasulullah
turun ke bumi dan kembali ke masjidil haram menjelang subuh.
Agaknya yang lebih wajar
untuk dipertanyakan, bukannya bagaimana Isra’ Mi’raj, tetapi mengapa Isra’
Mi’raj terjadi? Jawaban pertanyaan ini sebagaimana kita lihat pada ayat 78
surat al-lsra’, Mi’raj itu untuk menerima mandat melaksanakan shalat Lima
waktu. Jadi, shalat inilah yang menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj tersebut.
Shalat merupakan media
untuk mencapai kesalehan antara seorang hamba dengan Allah. Shalat juga menjadi
sarana untuk menjadi keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab,
dan penuh kedamaian. Makanya tidak berlebihan apabila Alexis Carrel menyatakan :
“Apabila pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang Maha pencipta
disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti kita telah
menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut“. Perlu diketahui
bahwa A. Carrel bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama,
tetapi dia adalah seorang dokter dan pakar Humaniora yang telah dua kali
menerima nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja dan
pencangkokannya. Tanpa pendapat Carrel pun, Al–Qur’an 15 abad yang lalu telah
menyatakan bahwa shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa mencegah
perbuatan keji dan mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang harmonis,
egaliter, dan beretika.
Perintah sholat dalam
perjalanan isra dan mi’raj Nabi Muhammad SAW, kemudian menjadi ibadah wajib
bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan
ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun
perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung
kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat beragama (Islam).
Bersandar pada alasan
inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang
berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’, berupaya memberikan peta yang cukup
komprehensif seputar kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad SAW, beserta telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa
ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup
gamblang menuturkan peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku ini juga
mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah
sakral Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini,
termasuk mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit?
Apakah Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami
orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita
teladani?
Bagaimana dengan mikraj
para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai muslim?
Serta apa hikmahnya bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam
buku ini.
Dalam pengertiannya, Isra’
Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa
bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan
menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam
buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,”
seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu
dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain
perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan
perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari
Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau
perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci
Mekkah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd)
menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju
kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi,
adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat
didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat,
salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW
“berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasulullah
berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala
penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT
pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar percakapan ini,
para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari
ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari
bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein
Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman
ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual
dari shalat yang di jalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat
adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang
merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan
dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran
yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah
shalat. Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum
Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah
terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi “Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya.”
Mengacu pada berbagai aspek
diatas, buku setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain
memberikan bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw,
tetapi juga memuat mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali.
Kemudian kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah
Mi’rajnya Abu Yazid al-Bisthami. Mi’raj bagi ulama kenamaan ini merupakan
rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah.
Ia menggambarkan
rambu-rambu jalan menuju Allah, kejujuran dan ketulusan niat menempuh
perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu
selain Allah. Maka, sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah
menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang
menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj
menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
Isra’ Mi’raj juga merupakan suatu peristiwa besar yang sekarang oleh sains
dan teknologi diakui, karena ternyata memang demikianlah yang bisa terjadi
bahwa Rasulullah benar-benar bergerak dari Mekkah ke Palestina, dan kemudian
diteruskan ke Sidratil Muntaha hanya dalam waktu tidak sampai satu malam. Sudut
pandang ilmiahnya bahwa ini adalah peristiwa fenomenal dan kontroversial. Fenomena
sejarah bahwa peristiwa ini belum
pernah terjadi dan diyakini takkan pernah terjadi lagi.
Peristiwa Isra’ Mi’rajsangat fenomenal dari segi sejarah,
karena sebelumnya tak pernah terjadi pada manusia. Sebelum Nabi Muhammad memang
pernah terjadi pada benda. Benda tersebut bisa berpindah tempat dari satu
tempat ke tempat yang jauh dalam orde sepersekian detik saja. Itulah peristiwa
berpindahnya singgasana Ratu Balqis dari Kerajaan Saba ke Kerajaan Nabi
Sulaiman. Waktu itu Nabi Sulaiman bertanya kepada para stafnya yang ketika itu
memang sengaja dikumpulkan olehnya. Nabi Sulaiman mengatakan kepada para
stafnya untuk melakukan suatu kejutan terhadap Ratu Balqis yang ketika itu
sedang menuju ke kerajaan Nabi
Sulaiman. Ternyata Nabi Sulaiman ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis
ke kerajaannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada para stafnya siapa
yang bisa melakukan hal tersebut.
Yang mengajukan diri
pertama kali adalah Jin Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa
memindahkannya. Dijawab oleh Jin Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi
Sulaiman berdiri dari tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di
hadapannya. Tentunya hal ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman belum
puas akan hal tersebut.
Kemudian Nabi Sulaiman
bertanya lagi kepada para stafnya siapa yang bisa lebih cepat melakukan hal
tersebut. Yang mengajukan diri kemudian ternyata adalah seorang manusia, yaitu
manusia yang menguasai ilmu dari al-Kitab. Orang itu kemudian ditanya oleh Nabi
Sulaiman berapa lama ia bisa melakukannya. Dijawab oleh orang itu bahwa ia bisa
melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berkedip lagi. Ternyata memang benar adanya,
sebelum Nabi Sulaiman berkedip, singgasana Ratu Balqis sudah berada di hadapannya.
Satu kedipan mata berarti waktunya kurang dari satu detik. Berkaitan dengan
Isra’ Mi’raj, ternyata perjalanan Nabi Muhammad tersebut terjadi dalam waktu
tidak sampai satu kedipan mata pun.
Dan Isra’ Mi’raj jugafenomenal dari segi sains. (lebih lengkapnya,
bisa dibaca disini:Dari sudut pandang ilmiah).
Untuk menjelaskan Isra’ Mi’raj, ternyata kita harus menggali ilmu-ilmu
mutakhir. Kalau ilmu-ilmu lama mungkin tak cukup untuk menjelaskan peristiwa
Isra’ Mi’raj. Sehingga di zaman itu orang memersepsikan bahwa Nabi Muhammad
melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu kemudian
ada yang menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga yang
menggambarkan bahwa kepala buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga yang
menggambarkan kepala buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini
tentunya khas abad pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah
dengan mengendarai kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu
digambarkanlah kuda itu bersayap.
Dengan pendekatan secara
saintifik dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya perpindahan Rasulullah dari satu
tempat ke tempat lain pada peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi secara cahaya.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ini tentunya kontroversial hampir 1500 tahun di kalangan
agamawan maupun para saintis karena memang sulit menjelaskannya. Selalu ada
yang tidak percaya, ragu-ragu, dan ada juga yang meyakininya sejak masa
hidupnya Rasulullah hingga kini. Yang ragu-ragu sampai sekarang tentunya masih
ada, bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Ketika ditanya apakah perjalanan
Nabi Muhammad dari Mekkah ke Palestina itu dengan badannya atau bukan. Ada yang
mengatakan bahwa itu hanya penglihatan saja. Ada juga yang mengatakan bahwa itu
hanya ruh saja. Ada yang mengatakan itu hanya mimpi. Dan ada yang mengatakan
bahwa peristiwa itu memang dialami Nabi Muhammad dengan badannya.
Yang meyakini bahwa
peristiwa Isra’ Mi’raj itu dialami Nabi Muhammad dengan badannya adalah mengacu
kepada Abu Bakar Shiddiq. Ketika itu Abu Bakar ditanya apakah dia meyakini
peristiwa tersebut. Lalu ditanyakan oleh Abu Bakar kepada yang bertanya itu
siapa yang menceritakan hal tersebut. Dijawab oleh yang bertanya kepada Abu
Bakar itu bahwa yang menceritakan hal tersebut adalah Nabi Muhammad. Dikatakan
oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka ia
meyakininya, karena Nabi Muhammad tak pernah berbohong.
Cara Abu Bakar memersepsi
mengenai Isra’ Mi’raj ini oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa beragama itu
tak perlu berpikir. Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika itu Abu
Bakar berpikir dahulu, karena ia menanyakan bahwa siapakah yang menceritakan
hal tersebut. Kalau memang Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakini
kebenaran yang diceritakan oleh Nabi Muhammad itu. Tapi kalau yang
menceritakannya bukan Nabi Muhammad tentunya Abu Bakar takkan langsung meyakini
kebenaran cerita tersebut. Jadi dalam beragama memang kita harus berpikir,
janganlah ikut-ikutan saja. Perintahnya sangat jelas di dalam al-Quran: Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 36)
Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj kalau kita sudah buntu, maka kita
katakanlah bahwa kalau Allah menghendaki, maka semuanya bisa saja terjadi. Kita
takkan mendapatkan pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seperti ini. Padahal
peristiwa apapun yang diturunkan oleh Allah, maka di dalamnya selalu ada
pelajaran untuk kita. Allah berfirman:
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190)
Kita diperintahkan untuk
menjadi ulil albab, yaitu orang yang menggunakan akalnya memahami segala
peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap peristiwa tersebut.
Perjalanan Isra’ Mi’raj itu terdiri dari dua etape: satu etape mendatar (horizontal),
sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal ke langit ketujuh. Etape
mendatarnya diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama:
Maha Suci Allah, yang telah
memerjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)
Dalam tinjauan Agus Mustofa
(2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting
dan menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir
perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan
makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Pertama, ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”. Kata “subhânallâh”
diajarkan kepada kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang
menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan
memulai cerita itu menggunakan kata “subhânalladzî” sebenarnya Allah
menginformasikan bahwa cerita yang akan diceritakan tersebut bukanlah cerita
yang biasa, melainkan cerita tersebut adalah cerita yang luar biasa dan
menakjubkan.
Kedua, yaitu kata “asrâ”.
Penggunaan kata “asrâ” memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu
adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi penggunaan kata ini mengcounter
pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut
Rasulullah tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan
itu Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas
kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk bisa dilakukan
sendiri oleh Rasulullah.
Ketiga, yaitu kata “’abdihi” yang artinya adalah hamba Allah.
Hamba terhadap majikan adalah seorang yang tak berani membantah, taat, seluruh
hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami
perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang kualitasnya sembarangan, melainkan
manusia yang kualitasnya sudah mencapai tingkatan hamba Allah, yaitu manusia
seperti Nabi Muhammad. Karena itulah, kita mungkin tidak bisa menerima ketika
Nabi Muhammad digambarkan mendapat perintah salat 50 waktu, kemudian beliau
menawar perintah tersebut kepada Allah. Anjuran tawar-menawar itu datangnya
dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu terjadi hingga sembilan
kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang akhirnya perintah salat
fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu saja sehari semalam.
Kita mungkin tak sampai
hati membayangkan Nabi Muhammad yang begitu taat kepada Allah yang tak pernah
membantah kalau mendapat wahyu dan perintah dari Allah yang dalam cerita versi
ini digambarkan sampai sembilan kali tawar-menawar dengan Allah untuk mengurangi
jumlah salat fardu yang diperintah-Nya. Digambarkan pada cerita versi ini bahwa
Nabi Musa lebih superior dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad
dipingpong oleh Nabi Musa bolak-balik menemui Allah memohon agar jumlah salat
fardu yang diperintahkan Allah itu dikurangi. Tentunya patut pula kita ingat
bahwa Nabi Musa adalah nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat
Islam/umat Nabi Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak mau menerima
Nabi Muhammad. Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat dibandingkan Nabi
Muhammad, sehingga dalam cerita versi ini Nabi Muhammad dipingpong saja. Jadi
ini indikasinya adalah hadis Israiliyat.
Keempat , yaitu kata “laylan” yang artinya adalah perjalananmalam di waktu malam. Hal ini menunjukkan sebagai penegasan bahwa perjalanan
malam itu tidak sepanjang malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam.
Sehingga diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa ketika Rasulullah berangkat dari
rumah meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian
terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah kembali lagi ke
rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini menunjukkan bahwa
ketika itu beliau tidak lama meninggalkan rumahnya. Di hadis yang lain juga
diceritakan, bahwa ketika Rasulullah meninggalkan rumahnya, beliau menyenggol
tempat minumnya kemudian tumpah, dan ternyata ketika Rasulullah kembali lagi ke
rumahnya, air dari tempat minum yang disenggolnya itu masih menetes. Hal ini
menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah itu
berlangsung dalam waktu yang sebentar dan cepat.
Bayangkanlah,
perjalanan semalam saja masih sulit diterima, apalagi perjalanan yang hanya
sekejap yang itu mungkin hanya beberapa menit, atau mungkin hanya beberapa
detik.
Kelima, minal masjidil harâmi ilal masjidil
aqsha (dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsa). Mengapa perjalanan Rasulullah ini dari masjid ke masjid?
Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan
masjid (dari tempat yang bukan masjid ke tempat lain yang bukan masjid juga)?
Patut diketahui, bahwa
masjid adalah tempat yang menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera
aura yang bisa memfoto dan memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang
berzikir ataupun membaca al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya
yang terang benderang. Berbeda halnya dengan orang yang sedang marah, depresi,
ataupun stress, maka orang tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah.
Warna aura ini bertingkat, yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila,
ungu, sampai warna putih. Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi
dari setiap aktivitas yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita
berada ketika itu. Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan
terekam. Allah berfirman:
Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qâf: 18)
Raqib dan Atid kemudian
dijadikan sebagai nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan.
Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi, dan suatu ketika akan diputar lagi.
Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu berada
dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang
menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amattajam. (Q.S. Qâf: 22)
Di pengadilan akhirat itu,
manusia akan bisa melihat seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid mengandung energi
positif sangat besar, terutama masjid yang sering digunakan sebagai tempat
beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan semakin khusyuk, maka energinya
akan semakin besar. Rasulullah berangkat dari masjid menuju ke masjid. Terminal
keberangkatannya di masjid.
Keenam, bâraknâ
hawlahu (yang telah Kami
berkahi sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini
karena perjalanan itu memang membahayakan. Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi
tetap membaik.
Ketujuh, linuriyahû
min âyâtinâ (agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami). Dalam
perjalanan isra’ mi’raj ketika itu Rasulullah ditunjukkan berbagai peristiwa.
Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu adalah waktu yang sangat singkat.
Itulah yang disebut sebagai relativitas waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara
orang yang berkecepatan tinggi dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita
mengetahui, bahwa antara orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu
waktunya berbeda. Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya
sebentar (mungkin hanya beberapa detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan. Yang
tertidur itu pun terbangun, lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya
itu begitu panjang, seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya
tertidur beberapa detik saja. Begitupun dengan Rasulullah, meskipun perjalanan
yang dialaminya itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau
ditampakkan berbagai macam peristiwa oleh Allah. Hal ini karena yang memberjalankan Rasulullah adalah Allah yang tak lain adalah zat Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu
ditularkan kepada Nabi Muhammad, sehingga kemampuan Rasulullah untuk melihat
dan mendengar menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir,
sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan
informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh
ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam
ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah,
Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan
tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Selanjutnya mengenai Mi’raj
diceritakan pada surah an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di Sidratil
Muntaha. (15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17)
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18)
Di dekat Sidratil Muntaha,
Rasulullah menyaksikan surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa
menyaksikan surga, karena sudut padangnya harus tertinggi di alam semesta ini.
Dari dunia tidak kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita
merasakan kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan
surga, namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air
dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga.
Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun
skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah
Rasulullah melanglang buana? Menyeberangi langit ataukah beliau langsung masuk
ke Sidratil Muntaha yang kita tidak tahu di mana letaknya.
Betapa besarnya langit
angkasa semesta. Apakah langit? Langit adalah seluruh ruangan alam semesta ini.
Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi tempat kita tinggal adalah
termasuk salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang tadinya
kelihatan besar, semakin jauh kita lihat maka semakin kecil. Ketika matahari
yang kita terlihat itu semakin kecil, maka biasanya kita tidak lagi menyebutnya
matahari, melainkan kita menyebutnya bintang.
Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang).
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Galaksi-galaksi itu
ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar yang
dinamakan sebagai supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah
supercluster adalah benda terbesar dan terjauh di alam semesta, hingga kini
belum ada yang mengetahuinya.
Jarak bumi ke matahariadalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya maka dibutuhkan waktu 8 menit.
Jadi, kalau kita melihat matahari terbit yang sinarnya sampai ke mata kita,
maka cahaya yang sampai ke mata kita itu sebetulnya bukanlah matahari sekarang,
melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan selama 8
menit barulah sampai ke mata kita. Sementara bintang kembar (Alpha Century)
jaraknya dari bumi adalah 4 tahun perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang
kembar pada malam hari, maka sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat
itu, melainkan bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang
berjarak 10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang
berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia,
misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per
jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk
sampai ke bintang tersebut.
Ternyata bumi kita ini
bukanlah benda besar di alam semesta, melainkan benda yang sangat kecil. Di
belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun
cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak
1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang terjauh
diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi,
bumi kita ini hanyalah sebutir debu di padang pasir alam semesta raya.
Jadi, manusia adalah
debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti,
galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit pertama,
karena langit itu ada tujuh (sab’a samawâti). Ilmu astronomi hanya mengetahui
langit itu satu, tapi al-Quran mengatakan langit itu ada tujuh, karena menurut
al-Quran bahwa langit yang kita kenal itu yang banyak bintang-bintangnya
barulah langit dunia (langit pertama). Allah berfirman: Sesungguhnya Kami telah menghias
langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)
Sudah sedemikian besarnyalangit pertama, ternyata langit pertama adalah debunya langit kedua, karena
langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit pertama.
Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit kedua. Begitu
seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya selalu tak berhingga kali besarnya
dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit ketujuh tak berhingga kali
dibandingkan langit keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh dibandingkan
langit pertama.
Jadi, langit pertama adalah
debunya langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya hingga
langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya hanyalah
debu atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah cara al-Quran
menggiring pemahaman kita tentang makna Allahu Akbar. Semestinya menurut
al-Quran, bahwa belajar mengenal Allah itu adalah dari seluruh ciptaan-Nya.
Dengan begitu kita akan mengetahui betapa Maha Besarnya Dia, betapa Maha
Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, tak cukup hanya dari
lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa yang sesungguhnya.
Bayangkanlah betapa
Rasulullah melakukan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah
berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun badan Rasulullah
diubah menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang
berjarak 4 tahun cahaya, maka Rasulullah membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai
ke bintang Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya
dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya
dibutuhkan 10 milyar tahun. Sepertinya Rasulullah tidak melewati ruang
angkasa, melainkan ada ruangan langsung yang tidak ke sana (tidak ke ruang
angkasa) tetapi memahami semua itu. Di manakah itu?
Ternyata langit kedua
terhadap langit pertama tidak bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks
Mi’rajnya Rasulullah). Sering kita berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa
Nabi Muhammad dan malaikat Jibril menuju ke langit ketujuh dengan cara naik
menggunakan tangga, kemudian bertemu langit yang digambarkan seperti
langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada penjaganya. Lalu Malaikat
Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana oleh si penjaga langit. Dijawab
oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa akan bertemu dengan Allah. Kalau
begitu, berarti Allah itu jauh sekali. Padahal di dalam al-Quran digambarkan
bahwa Allah itu dekat, dan Nabi Muhammad mengetahui itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16)
Bahkan dinyatakan juga didalam al-Quran: Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 115)
Timur dan Barat milik
Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah, karena
Allah sedang meliputi kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu. Jadi untuk
bertemu Allah tak perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah ke Sidratil
Muntaha bukanlah untuk menemui Allah, karena Allah sudah meliputi Rasulullah,
juga meliputi kita semua di manapun kita berada.
Isra’ Mi’raj itu sebetulnya
bertujuan membawa Rasulullah ke satu posisi yang paling tinggi untuk memahami
betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah semuanya itu? Yaitu untuk
memotivasi Rasulullah. Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’ Mi’raj,
Rasulullah sedang berada pada titik terendah perjuangannya yang paling sulit,
yaitu ketika dijepit oleh orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di
saat-saat itu justru Allah mewafatkan paman Rasulullah (Abi Thalib) dan
mewafatkan istri Rasulullah (Khadijah). Hal ini bukannya tidak sengaja,
melainkan disengaja oleh Allah, karena memang tak ada yang kebetulan di dalam
kehidupan ini.
Semuanya itu justru terjadi
pada saat Rasulullah berada pada titik nadir perjuangannya. Beliau berharap
memindahkan front syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if). Beliau berharap
disambut baik oleh penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi beliau dilempari
batu sampai berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa kembali semangat
beliau, yaitu dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad, engkau adalah utusan Allah,”
mungkin seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui peristiwa
Isra’ Mi’raj tersebut.
Ketika Rasulullah kembalidari Isra’ Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya,
yaitu beliau bersama pengikutnya hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa
menaklukkan kota Mekkah.https://www.blibli.com/?a_blibid=56b9504e49430