Kerajaan Babylon pada masa itu termasuk kerajaan yangmakmur, rakyat hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba berkecukupan serta
sarana-sarana yang menjadi keperluan pertumbuhan hidup mereka. Akan tetapi
tingkatan hidup rohani mereka masih berada di tingkat jahiliyah (kebodohan).
Mereka tidak mengenal Tuhan Pencipta mereka yang telah memberikan mereka segala
kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Persembahan mereka adalah patung-patung
yang mereka pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.
abi
Ibrahim adalah putera Aaazar (Tarih) bin Tahur bin Saruj bin Rau' bin Falij bin
Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh A.S. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama "Faddam
A'ram" dalam kerajaan "Babylon" yang pada waktu itu
diperintah oleh seorang raja bernama "namrud bin kan'an."
Raja merekA NAMRUT BIN KAN’AN menjalankan pemerintahannya
dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua kehendaknya harus dilaksanakan
dan segala perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dapat dilanggar atau
di tawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup
yang berlebih-lebihan yang ia nikmati lama-kelamaan menjadikan ia tidak puas
dengan kedudukannya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh
rakyatnya sebagai tuhan. Ia berpikir jika rakyatnya mau dan rela menyembah
patung-patung yang terbuat dari batu yang tidak memberi manfaat dan
mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan dirinya sendiri yang
disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, dapat mendengar, dapat
berpikir, dapat memimpin mereka, membawa kemakmuran bagi mereka dan melepaskan dari
kesengsaraan dan kesusahan. Dia yang dapat mengubah orang miskin menjadi kaya
dan orang yang hina diangkatnya menjadi orang mulia. disamping itu semuanya, ia
adalah raja yang berkuasa dan memiliki negara yang besar dan luas.
Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya,
lahirlah Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan
pedagang patung. Ia sebagai calon Rasul dan pesuruh Allah yang akan membawa
cahaya kebenaran kepada kaumnya, yang telah diilhami akal sehat dan fikiran tajam
serta kesadaran bahwa apa yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya
sendiri adalah perbuat yang sesat yang menandakan kebodohan dan bahwa
persembahan kaumnya kepada patung-patung itu adalah perbuatan mungkar yang
harus diperangi agar mereka kembali kepada persembahan yang benar ialah
persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam semesta ini.
Semasa
remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan
patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh
Allah kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan barang-barang tersebut
bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calon pembeli
dengan kata-kata: "Siapakah yang akan membeli patung-patung yang
tidak berguna ini?"
Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hati hendak
memerangi syirik dan persembahan berhala yang berlangsung dalam masyarakat
kaumnya ingin lebih dahulu mempertebalkan iman dan keyakinannya hatinya serta
membersihkannya dari keragu-raguan yang mungkin sesekali mengganggu pikirannya
dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Dia
menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati. Berserulah ia kepada
Allah: "Ya Tuhanku! Tunjukkanlah kepadaku bagaimana engkau
menghidupkan makhluk-makhluk yang sudah mati." Allah menjawab seruannya
dengan berfirman: “Tidakkah engkau beriman dan percaya kepada
kekuasaan-Ku?" Nabi Ibrahim menjawab: "Betul, wahai
Tuhanku, aku telah beriman dan percaya kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu, namun
aku ingin sekali melihat itu dengan mata kepala ku sendiri, agar aku mendapat
ketenteraman dan ketenangan dalam hatiku dan agar makin menjadi tebal dan kukuh
keyakinanku kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu."
Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim lalu
diperintahkanlah ia menangkap empat ekor burung lalu memotongnya menjadi
potongan-potongan dan mencampur-baurkan, kemudian tubuh burung yang sudah
hancur dan bercampur-baur itu diletakkan di atas puncak setiap bukit dari empat
bukit yang letaknya berjauhan satu dari yang lain.
Setelah
dikerjakan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah itu, diperintahlah Nabi
Ibrahim memanggil burung-burung yang sudah terkoyak-koyak tubuhnya dan terpisah
jauh tiap-tiap potongan tubuh burung tersebut.
Dengan izin Allah dan kuasa-Nya datanglah berterbangan
empat ekor burung itu dalam keadaan utuh bernyawa seperti sedia kala begitu
mendengar seruan dan panggilan Nabi Ibrahim dan hinggaplah empat burung yang
hidup kembali itu di depannya, dilihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana
Allah Yang Maha Berkuasa dapat menghidupkan kembali makhluk-Nya yang sudah mati
sebagaimana Dia menciptakannya dari sesuatu yang tidak ada. Dan dengan demikian
tercapailah apa yang diinginkan oleh Nabi Ibrahim untuk mententeramkan hatinya
dan menghilangkan kemungkinan keraguan di dalam iman dan keyakinannya, bahwa
kekuasaan dan kehendak Allah tidak ada sesuatu pun di langit atau di bumi yang
dapat menghalangi atau menentangnya dan hanya kata "Kun" yang
difirmankan Oleh-Nya maka terjadilah akan apa yang dikehendaki "Fayakun".
Aazar, ayah Nabi Ibrahim sebagaimana kaumnya yang lain,
bertuhan dan menyembah berhala bahkan ia adalah pedagang dari patung-patung
yang dibuat dan dipahatnya sendiri dan darinya orang membeli patung-patung yang
dijadikan persembahan.
Nabi
Ibrahim merasa bahwa kewajiban pertama yang harus ia lakukan sebelum berdakwah
kepada orang lain ialah menyadarkan ayah kandungnya dulu, orang yang terdekat
dengannya, bahwa kepercayaan dan persembahannya kepada berhala-berhala itu
adalah perbuatan yang sesat dan bodoh. Beliau merasakan bahwa kebaktian kepada
ayahnya mewajibkannya memberi penerangan kepadanya agar melepaskan kepercayaan
yang sesat itu dan mengikutinya beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan sikap yang sopan dan adab yang patut ditunjukkan
oleh seorang anak terhadap orang tuanya dan dengan kata-kata yang halus ia
datang kepada ayahnya dan menyampaikan bahwa ia diutuskan oleh Allah sebagai
nabi dan rasul dan bahwa ia telah diilhamkan dengan pengetahuan dan ilmu yang
tidak dimiliki oleh ayahnya. Ia bertanya kepada ayahnya dengan lemah lembut
apakah yang mendorongnya untuk menyembah berhala seperti kaumnya, padahal ia
mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak berguna sedikit pun, tidak dapat
mendatangkan keuntungan bagi penyembahnya atau mencegah kerugian atau musibah.
Diterangkan pula kepada ayahnya bahwa penyembahan kepada berhala-berhala itu
adalah semata-mata ajaran syaitan yang memang menjadi musuh kepada manusia
sejak Adam diturunkan ke bum. Ia berseru kepada ayahnya agar merenungkan dan
memikirkan nasihat dan ajakannya agar berpaling dari berhala-berhala dan
kembali menyembah kepada Allah yang menciptakan manusia dan semua makhluk yang
dihidupkan, memberi mereka rezeki dan kenikmatan hidup serta menguasakan bumi
dengan segala isinya kepada manusia.
Aazar menjadi geram dan marah mendengar kata-kata seruan
puteranya, karena puteranya sendiri telah berani mengecam dan menghina
kepercayaan ayahnya bahkan mengajakkannya untuk meninggalkan kepercayaan itu
dan menganut kepercayaan dan agama yang Nabi Ibrahim bawa. Ia tidak
menyembunyikan murka dan marahnya tetapi dinyatakannya dalam kata-kata yang
kasar dan dalam makian seakan-akan tidak ada hubungan darah diantara mereka. Ia
berkata kepada Nabi Ibrahim dengan nada gusar: "Hai Ibrahim!
Berpalingkah engkau dari kepercayaan dan persembahanku? Dan kepercayaan apakah
yang engkau berikan kepadaku yang menganjurkan agar aku mengikutinya? Janganlah
engkau membangkitkan amarahku dan coba mendurhakaiku. Jika engkau tidak
menghentikan penyelewenganmu dari agama ayahmu tidak engkau hentikan usahamu
mengecam dan memburuk-burukkan persembahanku, maka keluarlah engkau dari
rumahku ini. Aku tidak sudi bersama denganmu didalam suatu rumah di bawah satu
atap. Pergilah engkau dari mukaku sebelum aku menimpamu dengan batu dan
mencelakakan engkau."
Nabi
Ibrahim menanggapi kemarahan ayahnya, kata-kata kasarnya dengan sikap tenang,
normal selaku anak terhadap ayah, seraya berkata: "Oh ayahku!
Semoga engkau selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan
akan tinggalkan kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku
tidak menjadi orang yang celaka dan malang dengan doaku untukmu." Lalu
keluarlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan
prihatin karena tidak berhasil mengangkat ayahnya dari lembah syirik dan kufur.
Kegagalan Nabi Ibrahim dalam usahanya menyadarkan ayahnya
yang tersesat itu sangat menusuk hatinya karena ia sebagai putera yang baik
ingin sekali melihat ayahnya berada dalam jalan yang benar terangkat dari
lembah kesesatan dan syirik. Namun ia sadar bahwa hidayah itu adalah di tangan
Allah dan bagaimana pun ia ingin dengan sepenuh hatinya agar ayahnya mendapat
hidayah, bila belum dikehendaki oleh Allah maka sia-sialah keinginan dan
usahanya.
Penolakan
ayahnya terhadap dakwahnya dengan cara yang kasar dan kejam itu tidak sedikit
pun mempengaruhi ketetapan hatinya dan melemahkan semangatnya untuk berjalan
terus memberi penerangan kepada kaumnya untuk meninggalkan
persembahan-persembahan yang bathil dan kepercayaan-kepercayaan yang
bertentangan dengan tauhid dan iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Nabi Ibrahim tidak henti-henti dalam setiap kesempatan
mengajak kaumnya berdialog dan berdakwah tentang kepercayaan yang mereka anut
dan ajaran yang ia bawa. Dan ternyata bahwa bila mereka sudah tidak bisa
menyanggah alasan-alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim tentang
kebenaran ajarannya dan kebathilan kepercayaan mereka maka alasan yang usang
yang mereka kemukakan yaitu bahwa mereka hanya meneruskan apa yang oleh
bapak-bapak dan nenek moyang mereka dilakukan sebelumnya dan sesekali mereka
tidak akan melepaskan kepercayaan dan agama yang telah mereka warisi.
Nabi
Ibrahim pada akhirnya merasa tidak bermanfaat lagi berdebat dan berdakwah
dengan kaumnya yang berkepala batu dan yang tidak mau menerima keterangan dan
bukti-bukti nyata yang dikemukakan oleh beliau, mereka selalu berpegang pada
satu-satunya alasan bahwa mereka tidak akan menyimpang dari cara persembahan
nenek moyang mereka, walaupun oleh Nabi Ibrahim dinyatakan berkali-kali bahwa
mereka dan moyang mereka keliru dan tersesat mengikuti jejak syaitan dan iblis.
Nabi Ibrahim kemudian merencanakan akan membuktikan
kepada kaumnya dengan perbuatan yang nyata yang dapat mereka lihat dengan mata
kepala mereka sendiri bahwa berhala-berhala dan patung-patung mereka
betul-betul tidak berguna bagi mereka dan bahkan tidak dapat menyelamatkan
dirinya sendiri.
Adalah
sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk kerajaan Babylon pada masa itu,
setiap tahunnya mereka keluar kota beramai-ramai pada suatu hari raya yang
mereka anggap sebagai hari keramat. Berhari-hari mereka tinggal di luar kota di
suatu padang terbuka, berkemah dengan membawa bekal makanan dan minuman yang
cukup. Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan kota-kota
mereka kosong dan sunyi. Mereka berseru dan mengajak semua penduduk agar keluar
meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu.
Nabi Ibrahim yang juga turut diajak ikut serta, tapi Nabi Ibrahim berpura-pura
sakit dan diizinkanlah ia tinggal di rumah apalagi mereka merasa khawatir bahwa
penyakit Nabi Ibrahim yang dibuat-buat itu akan menular di kalangan mereka bila
ia ikut serta.
Ketika melihat kota sudah kosong dari penduduknya, dengan
membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan kaumnya
yang sudah ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci dan hanya deretan
patung-patung yang terlihat diserambi tempat peribadatan itu. Sambil menunjuk
kepada sesembahan bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung,
berkata Nabi Ibrahim: "Mengapa kamu tidak makan makanan yang lezat
yang disaljikan bagi kamu ini? Jawablah aku dan berkata-katalah kamu!." Kemudian
ditendang, dan dipukullah patung-patung itu dan dihancurkannya berkeping-keping
dengan kapak yang berada di tangannya. Patung yang paling besar ditinggalkannya
utuh, tidak diganggu dan pada lehernya dikalungkanlah kapak Nabi Ibrahim itu.
Terperanjat dan terkejutlah para penduduk, ketika mereka
pulang dari berpesta ria di luar kota dan melihat keadaan patung-patung,
tuhan-tuhan mereka hancur berantakan dan menjadi potongan-potongan yang
berserakkan di atas lantai. Bertanyalah salah satu diantara mereka kepada yang
lain: "Siapakah yang telah berani melakukan perbuatan yang jahat
dan keji ini terhadap tuhan-tuhan persembahan mereka ini?" Berkata
salah seorang diantara mereka: "Ada kemungkinan bahwa orang yang
selalu mengolok-olok dan mengejek persembahan kami yang bernama Ibrahim itulah
yang melakukan perbuatan yang berani ini."Seorang yang lain menambah
keterangan dengan berkata: "Dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah
satu-satunya orang yang tinggal di kota sewaktu kami semua berada di luar
merayakan hari suci dan keramat itu." Akhirnya terdapat kepastian
yang tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah yang merusakkan dan memusnahkan
patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan kejadian yang
dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dapat diampuni terhadap
kepercayaan dan persembahan mereka. Suara marah, jengkel dan kutukan terdengar
dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku dimintai pertanggungjawabannya
dalam suatu pengadilan terbuka, dimana seluruh rakyat penduduk kota dapat ikut
serta menyaksikannya.
Dan memang itulah yang diharapkan oleh Nabi Ibrahim agar
pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua warga masyarakat dapat
turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau dapat secara
terselubung berdakwah menyerang kepercayaan mereka yang bathil dan sesat itu,
seraya menerangkan kebenaran agama dan kepercayaan yang ia bawa, bilamana
diantara yang hadir ada yang bisa terbuka hatinya bagi iman dari tauhid yang ia
ajarkan dan dakwahkan.
Hari pengadilan ditentukan dan datang rakyat dari segala
pelosok berbondong-bondong mengujungi padang terbuka yang disediakan bagi
sidang pengadilan itu.
Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para hakim yang akan
mengadili, ia disambut oleh para masyarakat dengan teriakan kutukan dan
cercaan, menandakan sangat marahnya para penyembah berhala terhadap beliau yang
telah berani menghancurkan persembahan mereka.
Ditanyalah Nabi Ibrahim oleh para hakim: "Apakah
engkau yang melakukan penghancuran dan merusakkan tuhan-tuhan kami?" Dengan
tenang dan sikap dingin, Nabi Ibrahim menjawab: "Patung besar yang
berkalungkan kapak di lehernya itulah yang melakukannya. Coba tanya saja kepada
patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya." Para hakim
terdiam sejenak seraya melihat yang satu kepada yang lain dan berbisik-bisik,
seakan-akan Ibrahim mengejek mereka. Kemudian berkata si hakim:"Engkau
tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat berbicara dan berkata mengapa engkau
minta kami bertanya kepadanya?" Tibalah masanya yang memang
dinantikan oleh Nabi Ibrahim, maka sebagai jawaban atas pertanyaan yang
terakhir itu beliau berpidato membentangkan kebathilan persembahan mereka, yang
mereka pertahankan mati-matian, semata-mata hanya karena adat dan warisan
nenek-moyang. Berkata Nabi Ibrahim kepada para hakim itu: "Jika
demikian halnya, mengapa kamu sembah patung-patung itu, yang tidak dapat
berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa
manfaat atau menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari
kehancuran dan kebinasaan? Alangkah bodohnya kamu dengan kepercayaan dan
persembahan kamu itu! Tidakkah dapat kamu berfikir dengan akal sehat bahwa
persembahan kamu adalah perbuatan yang keliru yang hanya dipahami oleh syaitan.
Mengapa kamu tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kamu, menciptakan alam
sekitar kamu dan menguasakan kamu di atas bumi dengan segala isi dan kekayaan.
Alangkah hinanya kamu dengan persembahan kamu itu."
Setelah selesai Nabi Ibrahim menguraikan pidatonya itu,
para hakim memutuskan bahwa Nabi Ibrahim harus dibakar hidup-hidup sebagai
ganjaran atas perbuatannya menghina dan menghancurkan tuhan-tuhan mereka, maka
berkatalah para hakim kepada rakyat yang hadir menyaksikan pengadilan itu:
"Bakarlah ia dan bela tuhanmu, jika kamu benar-benar setia
kepadanya."
Keputusan pengadilan telah dijatuhkan. Nabi Ibrahim harus
dihukum dengan membakar hidup-hidup dalam api yang besar, sebesar dosa yang
telah dilakukan. Persiapan bagi upacara pembakaran yang akan disaksikan oleh
seluruh rakyat disiapkan. Tanah lapang bagi tempat pembakaran disediakan dan
diadakan pengumpulan kayu bakar dengan banyaknya tiap penduduk secara
gotong-royong harus membawa kayu bakar sebanyak yang ia dapat sebagai tanda
bakti kepada tuhan-tuhan persembahan mereka yang telah dihancurkan oleh Nabi Ibrahim.
Berduyun-duyunlah
para penduduk dari segala penjuru kota membawa kayu bakar sebagai sumbangan dan
tanda bakti kepada tuhan mereka. Diantara terdapat para wanita yang hamil dan
orang yang sakit yang membawa sumbangan kayu bakarnya dengan harapan memperoleh
berkah dari tuhan-tuhan mereka dengan menyembuhkan penyakit mereka atau
melindungi yang hamil di kala ia bersalin.Setelah terkumpul kayu bakar di
lanpangan yang disediakan untuk upacara pembakaran dan tertumpuk serta tersusun
laksana sebuah bukit, lalu dibakar dan terbentuklah gunung berapi yang dahsyat.
Kemudian dalam keadaan terbelenggu, Nabi Ibrahim didatangkan dan dari atas
sebuah gedung yang tinggi dilemparkanlah ia kedalam tumpukan kayu yang
menyala-nyala itu dengan iringan firman Allah: "Hai api, menjadilah
engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim."
Sejak keputusan hukuman dijatuhkan sampai saat ia
dilemparkan ke dalam bukit api yang menyala-nyala itu, Nabi Ibrahim tetap
menunjukkan sikap tenang dan tawakal karena iman dan keyakinannya bahwa Allah
tidak akan rela melepaskan hamba pesuruhnya menjadi makanan api dan kurban
keganasan orang-orang kafir musuh Allah. Dan memang demikianlah apa yang
terjadi tatkala ia berada dalam api yang dahsyat itu ia merasa dingin sesuai
dengan seruan Allah Pelindungnya dan hanya tali temali dan rantai yang mengikat
tangan dan kakinya yang terbakar hangus, sedang tubuh dan pakaian yang terlekat
pada tubuhnya tetap utuh, tidak sedikit pun tersentuh oleh api, ini merupakan
suatu mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim agar dapat
melanjutkan penyampaian risalah yang ditugaskan kepadanya kepada hamba-hamba
Allah yang tersesat itu.
Para penonton upacara pembakaran tercengang tatkala
melihat Nabi Ibrahim keluar dari bukit api yang sudah padam dan menjadi abu itu
dalam keadaan selamat, utuh dengan pakaiannya yang tetap berada seperti biasa,
tidak ada tanda-tanda sentuhan api sedikitpun. Mereka meninggalkan lapangan
dalam keadaan heran seraya bertanya-tanya pada diri sendiri dan di antara satu
sama lain bagaimana hal yang ajaib itu terjadi, padahal menurut anggapan mereka
dosa Nabi Ibrahim sudah nyata mendurhakai tuhan-tuhan yang mereka puja dan
sembah. Ada sebagian dari mereka yang dalam hati kecilnya mulai meragukan
kebenaran agama mereka, namun tidak berani menunjukkan rasa ragunya itu kepada
orang lain, sedang para pemuka dan para pemimpin mereka merasa kecewa dan malu,
karena hukuman yang mereka jatuhkan kepada diri Nabi Ibrahim dan kesibukan
rakyat mengumpulkan kayu bakar selama berminggu-minggu telah berakhir dengan
kegagalan, sehingga mereka merasa malu kepada Nabi Ibrahim dan para
pengikutnya.